2019, Wis Wayahe Ganti Presiden

2019, Wis Wayahe Ganti Presiden

2019, Wis Wayahe Ganti Presiden


[PORTAL-ISLAM.ID]  “Wis Wayahe”. Kalimat ini bergema di Pesantren Al-Anwar Sarang ketika Prabowo sowan ke K.H. Maemoen Zubair September tahun lalu. Hampir semua santri dari lantai satu sampai lantai tiga menggemakan bunyi “Wis Wayahe”… Bercampur gema shalawat dari pengecap ribuan santri. Suara ini mengiringi perjalanan Prabowo dari “ndalem” K.H. Maemoen Zubair ke “ndalem” K.H. Najih Maemoen Zubair, sang putra yang terang-terangan mendukung dan mengkampanyekan Prabowo for presiden.

Santri berani teriakkan “Wis Wayahe”, tentu sesudah para santri yakin Sang Kiyai mendukung penuh Prabowo jadi presiden. Dukungan ini dibaca para santri dari isi ceramah dan doa Mbah Moen. Terang dan jelas. Doakan Prabowo jadi presiden. Publik sanggup melihatnya di YouTube.

Ceramah dan doanya natural. Tanpa diminta, apalagi diintervensi. Tak ada ralat doa. Tak ada selfie di kamar. Sebab, yang di kamar hanya ada K.H. Maemoen Zubair dan Prabowo. Tak ada kamera dan tukang foto. Kedua tokoh ini juga tak suka selfie. Keikhlasan menjadi diam-diam hubungan mereka dengan Tuhan.

Di “ndalem” Mbah Moen, Prabowo sanggup perlakuan cukup istimewa, bila dibanding politisi yang lain. Terutama kalau dikait-kaitkan dengan info pilpres kali ini. Setiap kali melangkah, tangan mulia Mbah Moen menggandeng bersahabat Prabowo. Gandengan penuh energi. Diajak ke kamar khusus, kemudian diminta untuk naik kendaraan beroda empat putih. “Mobil saya ini menyerupai kendaraan beroda empat presiden”, kata Mbah Moen. Gak tahu apa maksud Kiai sepuh ini. Hanya Allah, dia dan Prabowo yang tahu.

Saat Prabowo digenggam tangannya oleh Mbah Moen dan diajak ke kamar di tengah keramaian para ulama dan tamu di ruang depan, Gus Najih, putra Mbah Moen berbisik kepada salah satu santri: Prabowo menang. Insya Allah. Si santri kaget. Buru-buru Gus Najih melanjutkan: “2014 Jokowi yang diajak ke kamar, dan 2019 ini Prabowo yang diajak ke kamar”. Lagi-lagi, Gus Najih mengahiri statemennya dengan kalimat:”insya Allah”.

Runut kejadian yang unik, kendati tetap natural inilah yang meyakinkan di benak santri Al-Anwar ketika itu bahwa Mbah Moen dukung Prabowo. Maka lahirlah teriakan ‘Wis Wayahe”. Opo iku “Wis Wayahe”?

Setelah ditelusuri maksud dan arti “Wis Wayahe” ternyata artinya yaitu “sudah saatnya Prabowo jadi pesiden”. Oh… Ternyata… Maka tak terlalu mengejutkan ketika 1 Pebruari kemudian Mbah Moen berungkali dalamndoanya menyebut nama Prabowo jadi presiden, meski di sampingnya ada Pak Jokowi.

Video perihal doa Mbah Moen ini sempat viral di medsos dan jadi perbincangan publik. Media, baik elektronik, cetak maupun online seolah sedang sanggup berkah. Tema doa Mbah Moen tinggi ratingnya. Di tengah polemik doa Mbah Moen, Gus Najih menciptakan closing dalam salah satu pidatonya: “Ayah saya tidak keliru dalam berdoa. Beliau memang sering berdoa untuk Pak Prabowo”. Kelar! Karena yang menciptakan statemen yaitu sang putra tertua kedua dari Mbah Moen. Polemik berhenti. Dan memang sudah saatnya untuk berhenti.

Kata “Wis Wayahe” terus terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Kata ini semacam bentuk antusiasme bahwa 2019 terjadi pergantian presiden. Jokowi lengser, Prabowo menggantikannya. Terjadi suksesi melalui pemilu yang sah.

Artinya, di pilpres 2019 ini Jokowi kalah, begitulah kesimpulan final dari narasi “Wis Wayahe” dari para santrinya Mbah Maemoen Zubair. Bagaimana menjelaskan optimisme itu?

Meski pemilu belum digelar, antusiasme dan impian santri Sarang yang diungkapkan dengan kata “Wis Wayahe” tampaknya punya peluang besar. Ada tiga teori yang setidaknya sanggup menjelaskan antusiasme para santri itu.

Pertama, militansi idelogis biasanya memenangkan pertempuran melawan kekuatan logistik. Pendukung 02 militan. Iuran dan saweran untuk kebutuhan logistik kampanye. Tidak hanya orang dewasa, mahasiswa dan perempuan kecil menyerupai Gendis ikut saweran. Sementara 01 banjir logistik, baik untuk suatu program atau dalam bentuk bagi-bagi sembako yang akhir-akhir ini masif menyerbu warga, dari jalan raya sampai ke gang gang rumah warga.

Kedua, meminjam teori Ibnu Khaldun, ketika penguasa “dianggap rakyat” telah melampaui batas kewajaran norma dan mengabaikan aturan, maka prilaku politiknya cenderung berpeluang menggerus simpati dan proteksi rakyat. Saat itulah besar peluangnya terjadi suksesi (pergantian).

Ketiga, silent majority. Dalam survei disebut dengan “undecided voters” yang jumlahnya cukup besar. Apalagi, dari sejumlah survei, termasuk yang dilakukan oleh Kompas, sebagaimana yang diungkapkan Sofyan Wanandi Senen malam 18 maret kemarin, elektabilitas petahana di bawah 50 persen. Ini bentuk faktual eksekusi rakyat kepada petahana, kata Eep Syaefullah Fatah, CEO PolMark dan mantan penasehat politik Jokowi di 2014.

Jelas, ini indikasi bahwa kekecewaan dan kemarahan rakyat tak lagi sanggup dikendalikan. Dalam sistem demokrasi, kemarahan itu akan tertumpahkan di TPS 17 April 2019. Pilgub DKI 2017 yaitu representasi terbaik untuk menggambarkan silent majority. Ahok kalah telak, kendati survei selalu memanjakannya dengan angka-angka yang bombastis. Lebay!

Tiga teori ini sanggup jadi acuan yang representatif untuk mengurai analisis semangat “Wis Wayahe” dalam konteks pilpres 2019. Akankah teriakan santri Al-Anwar Sarang ini akan jadi kenyataan? Kalau lihat hasil survei, peluang takdirnya makin membesar. Kabarnya, elektabilitas Prabowo-Sandi sudah menyalib dan memimpin di depan. Kita tunggu saja finalnya tanggal 17 April nanti.

Jakarta, 19 Maret 2019

Penulis: Tony Rosyid


Sumber https://www.portal-islam.id
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar

Advertiser