Rommy, Korupsi, Dan Klise “Jokowi Tidak Tebas Pilih”

Rommy, Korupsi, Dan Klise “Jokowi Tidak Tebas Pilih”

Rommy, Korupsi, Dan Klise “Jokowi Tidak Tebas Pilih”


[PORTAL-ISLAM.ID] “Jauh dari ‘tebang pilih’ menyerupai yang dituduhkan kepada Pak Jokowi. Tidak ada kontribusi aturan yang dilakukan Pak Jokowi kepada siapa pun yang bermasalah secara hukum" (Pernyataan Jubir PSI Rian Ernest ketika menanggapi OTT Romahurmuziy oleh KPK, dikutip dari Media Indonesia, 15 Maret 2019).

Pernyataan di atas buat saya sangat clear; hanyalah klise belaka. Apa korelasinya antara Jokowi dan KPK dalam konteks masalah Muhammad Romahurmuziy (Rommy)? Toh, selama ini KPK bekerja bukan alasannya yakni arahan, apalagi intervensi dari presiden. KPK bukanlah kepingan dari kewenangan direktur maupun kewenangan legislatif. KPK yakni forum independen yang bertugas dalam pemberantasan korupsi di ketika penegak aturan lainnya dianggap belum efektif menjalankan tugasnya di ranah tersebut.

Dengan demikian, tidak logis pernyataan “Jokowi tidak tebas pilih” dalam konteks masalah Rommy, alasannya yakni memang semenjak awal tidak ada jalur kewenangan bagi presiden untuk intervensi di dalamnya.

Sangat dipahami bahwa penangkapan Rommy ini cukup menciptakan ketar-ketir Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Pasalnya, Rommy yakni ketua umum PPP yang notabene merupakan salah satu partai pengusung Jokowi-Ma’ruf dalam pilpres 2019. Bola tidak bisa dibiarkan bergerak liar jikalau tidak mau gambaran Jokowi-Ma’ruf rusak alasannya yakni masalah ini. Syahdan, digulirkanlah opini publik bahwa Jokowi tidak pernah tebas pilih dalam pemberantasan korupsi. “Tuh lihat, Rommy tetap ditangkap meski berada di kubu Jokowi-Ma’ruf, ini bukti Jokowi tidak tebas pilih", kira-kira menyerupai inilah opini yang ingin dibangun.

Tapi sekali lagi, pernyataan di atas mengandung logical fallacy yang cukup serius. Karena semenjak awal memang tidak ada ruang bagi presiden untuk intervensi dalam proses penetapan tersangka. Kalau pun ada, terang hal tersebut yakni cacat mekanisme yang justru melukai forum KPK itu sendiri. Sebab, KPK harus bebas dari intervensi kekuasaan dari mana pun.

Padahal, kalau kita melihat ke belakang, kenyataannya presiden memang tidak bisa “ngapa-ngapain” terhadap KPK. Paling tidak ada tiga hal yang memperlihatkan hal tersebut.

Pertama, presiden Jokowi tidak bisa meredakan ketegangan yang terjadi antara KPK dengan POLRI pada 2015 silam. Sebagai flashback, ketegangan bermula ketika Komjen Budi Gunawan, calon tunggal Kapolri yang ditunjuk Jokowi, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Tak usang berselang, Mabes Polisi Republik Indonesia memutuskan dua pimpinan KPK ketika itu, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka.

Presiden ketika itu hanya memperlihatkan komentar, “stop kriminalisasi KPK”, tanpa take action yang jelas. Pun, berakhirnya masalah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga sehabis keluar putusan dari Jaksa Agung pada 2016 silam untuk mengesampingkan (deponering) masalah dua mantan pimpinan KPK demi kepentingan publik. Lalu, di mana intervensi presiden? Seharusnya, jikalau memang presiden mempunyai wewenang, semenjak awal tidak ada kriminalisasi.

Kedua, masalah penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Mengenai ini, hampir-hampir presiden tidak bisa mengintervensi apa pun. Bahkan hingga dengan peringatan 700 hari bencana yang diadakan pada Selasa, 12 Maret 2019 yang lalu, masalah ini belum menemukan titik terang. Ini mengambarkan bukan hanya presiden Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa, melainkan juga ketiadaan itikad serius dari presiden untuk menuntaskan masalah ini.

Ketiga, sejauh ini tidak ada upaya yang serius dari pemerintahan Jokowi dalam kegiatan pemberantasan korupsi. Pernyataan ini disampaikan oleh peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman (CNN Indonesia, 2018). Menurutnya, hal ini terlihat dari tidak adanya perjuangan membentuk UU gres yang mendukung kegiatan pemberantasan korupsi. Bahkan, RUU Perampasan Aset (mengenai penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset tindak pidana) yang merupakan salah satu elemen pendukung kegiatan pemberantasan korupsi, justru presiden cenderung abai.

Presiden hanya mendorong penundaan revisi UU KPK (yang dianggap akan melemahkan kewenangan KPK), itu pun alasannya yakni isunya muncul di publik dan banyak pihak yang mendesak biar presiden bertindak. Sedangkan untuk RUU Perampasan Aset yang disebut di atas, alasannya yakni tidak ada blow up di publik, presiden tidak berbuat apa-apa. Saat Perpres Pencegahan Korupsi nomor 54 tahun 2018 wacana taktik nasional pencegahan korupsi muncul, berdasarkan banyak pegiat anti-korupsi, bukanlah sesuatu yang gres alasannya yakni sebelumnya memang sudah ada.

Kaprikornus sekali lagi bagi saya, pernyataan "Jokowi tidak tebas pilih" yakni suatu hal yang abnormal mengingat kerja KPK tidak dipengaruhi kekuasaan dari luar, apalagi presiden. Justru lima tahun belakangan, pemerintah tidak banyak melaksanakan apapun terkait dilema ini. Ya, selama Jokowi berkuasa tidak ada kemajuan berarti bagi kegiatan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Penulis: Grady Nagara
(Peneliti dan pengamat politik, alumnus Universitas Indonesia)

Sumber: Kumparan


Sumber https://www.portal-islam.id
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar

Advertiser