[PORTAL-ISLAM.ID] Istana Merdeka, suatu hari menjelang Pilkada DKI 2017 Putaran Kedua. Presiden Jokowi sedang bicara dengan seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pada ketika itu masuk rombongan pimpinan sebuah media yang biasa menyelenggarakan survei.
“Bagaimana surveinya?” tanya Presiden.
“Masih unggul 1.5 persen Pak.”
“Bisa nggak dinaikkan jadi 2.5 persen?” tukas Presiden.
Percakapan itu ditirukan kembali sang anggota Wantimpres sambil tertawa-tawa.
Yang dimaksudkan surveinya masih unggul dan minta dinaikkan menjadi 2,5 persen yaitu pasangan Ahok-Djarot. Saat itu sejumlah forum survei sudah memprediksi Ahok-Djarot akan kalah dari pasangan Anies-Sandi.
Namun ada juga beberapa forum survei yang menyatakan Ahok-Djarot akan unggul (Charta Politika), atau akan menang sebab trendnya naik, sebaliknya musim Anies-Sandi turun (SMRC).
Posisi istana ketika itu mendukung sepenuhnya Ahok-Djarot. Beberapa forum survei disewa untuk membantu memenangkannya. Selain memetakan opini publik, kiprah mereka yang paling penting justru menghipnotis opini publik.
Presiden Jokowi mengamati terus menerus naik turunnya perolehan suara. Dia sangat berkepentingan Ahok-Djarot menang. Istana menjadi posko pemenangan Ahok-Djarot.
Memanfaatkan jasa survei untuk memantau opini publik sudah semenjak usang dilakukan Jokowi. Sewaktu menjadi Walikota Solo ia menyewa forum survei. Tugasnya memetakan aspirasi publik. Jokowi bahkan mengaku rela membiayai survei dari koceknya sendiri.
Dari forum survei itulah lahir banyak sekali kebijakan publik yang populis untuk warga Kota Solo. Kartu pendidikan, kartu kesehatan, dan pembenahan pedagang kaki lima.
Kebiasaan itu terus berlanjut ketika ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Apalagi sehabis menjadi presiden. Istana menjadi “kolektor” forum survei. Seorang akademisi satu almamater dengan Jokowi ditunjuk menjadi koordinatornya.
Seorang pengamat ajaib yang punya jalan masuk ke kalangan istana mengaku menerima cerita, lebih dari satu tahun terakhir meja kerja Jokowi higienis dari berkas laporan kerja. Hanya berisi tumpukan hasil forum survei.
Setiap hari fokus Jokowi dan timnya mencermati grafik-grafik dan angka-angka naik turunnya elektabilitasnya. Salah satu kesimpulan ketika itu, bila Jokowi ingin menang kembali, maka ia harus menggandeng Prabowo. Berdasarkan survei, Prabowo merupakan satu-satunya lawan potensial.
Kalau tidak sanggup menggandeng Prabowo, maka harus diupayakan lawan Jokowi hanya satu. Lawan itu juga harus Prabowo. Sebab dari sisi kalkulasi survei, Prabowo lebih gampang dikalahkan. Kalkulasi itu kini mulai dipertanyakan. Mereka kelihatannya salah hitung.
Soal ini juga diakui oleh Andi Wijayanto Ketua Tim Cakra salah satu sayap pemenangan Jokowi. Tugas mereka yang pertama memastikan lawan Jokowi hanya satu.
Tugas ini sukses dilaksanakan melalui penetapan presidential threshold. Partai atau adonan partai yang sanggup mengusung paslon harus mempunyai 20 persen dingklik di DPR, atau total bunyi nasional sebanyak 25 persen.
Kelompok oposisi kesulitan untuk membentuk poros ketiga. Jumlah dingklik tidak mencukupi sebab sebagian besar parpol sudah diakuisisi oleh pemerintah.
Pembentukan Publik Opini
Penggunaan forum survei untuk memetakan opini publik, bahwasanya merupakan cuilan yang tak terpisahkan dalam demokrasi modern. Hanya saja yang menjadi dilema di Indonesia praktiknya mengalami penyimpangan.
Peran yang paling menonjol dari forum survei justru menjadi tim sukses. Tugas utamanya menghipnotis opini publik.
Dengan mempunyai “koleksi” puluhan forum survei, istana sejauh ini berhasil membangun dan mendesakkan opini publik perihal gambaran eksklusif dan keberhasilan pembangunan pemerintahan Jokowi. Dominasi publik opini kian perkasa sebab istana juga menguasai dan mengkooptasi sepenuhnya media massa arus utama.
Setidaknya ada enam kiprah forum survei di Indonesia :
Pertama, membentuk opini pemerintahan Jokowi sangat berhasil dan disukai publik. Salah satu indikatornya yaitu kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Di AS, hal ini disebut sebagai approval rating.
Kedua, membombardir publik dengan banyak sekali hasil survei yang memperlihatkan tingkat elektabilitas Jokowi sangat tinggi. Tujuannya untuk menghipnotis keputusan pimpinan parpol dan menciptakan solid pinjaman terhadap Jokowi.
Pada pilpres kali ini para pimpinan parpol berebut menjadi partai yang paling awal mendukung Jokowi. Mereka silau sebab elektabilitasnya sangat tinggi. Sementara pada Pilpres 2014 mereka berhasil memaksa Ketua Umum PDIP Megawati menawarkan mandatnya kepada Jokowi.
Ketiga, membangun tingkat kepercayaan diri ( level of confidence ) Jokowi dan para pendukungnya bahwa elektabilitasnya sangat tinggi dan mustahil dikalahkan.
Keempat, menghipnotis psikologi lawan politik dan para pendukungnya bahwa mereka mustahil memenangkan persaingan melawan Jokowi.
Kelima, menghipnotis pemilih yang belum memutuskan ( undecided voters ). Dalam teori pemasaran politik dikenal bandwagon effect. Publik cenderung akan ikut pemilih terbanyak. Efek ikut-ikutan.
Keenam, memberi justifikasi kecurangan. Karena angka-angka elektabilitas telah diubahsuaikan dengan sasaran kemenangan yang sudah dipatok.
Lembaga-lembaga survei itu dengan leluasa membentuk opini publik sebab berlindung di balik perilaku independen dan justifikasi ilmiah.
Mereka tidak pernah membuka diri kepada publik, untuk siapa mereka bekerja dan dari mana dana mereka peroleh, bagaimana metodologinya dll
Seharusnya ketika mempublikasikan hasil surveinya harus dibuka untuk siapa mereka bekerja dan dari mana dananya. Praktik ini sudah dimulai oleh Polmark Indonesia.
Pada pemilu kali ini mereka mengumumkan bahwa survei yang dilakukan berhubungan dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ada empat langkah pertanggungjawaban publik yang diusulkan oleh CEO Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah sehingga hasil sebuah survei sanggup dipertanggungjawabkan.
Pertama, mengumumkan secara terbuka dengan siapa/pihak mana survei dikerjasamakan.
Kedua, mengumumkan informasi-informasi yang fundamental perihal penyelenggaraan survei, baik mencakup metodologi dan teknis penyelenggaraan survei.
Ketiga, menyiapkan data mentah ( raw data ) untuk setiap cuilan dari hasil survei yang dipublikasikan dan berkomitmen menyampaikannya kepada pihak yang berwenang (KPU dan Bawaslu) untuk tujuan pengujian data itu.
Keempat, menyiapkan salinan pembayaran pajak atas kerjasama survei yang dipublikasikan dan berkomitmen memberikan salinan tersebut manakala pihak yang berwenang memerlukan.
Dengan langkah transparansi semacam itu diperlukan tidak akan muncul lagi kecurigaan publik, atau serang menyerang antar-lembaga survei.
Serangan Denny JA atas publikasi survei Litbang Kompas mengingatkan kita kepada pepatah “ Buruk muka cermin dibelah.”
Agar hal itu tidak terjadi lagi, kita mengusulkan “Buruk Laku, Lembaga Survei Harus Dibedah.” end
Penulis: Hersubeno Arief Sumber https://www.portal-islam.id